Sabtu, 14 Desember 2013

ushul fiqh 'urf




BAB 1
PENDAHULUAN

Ushul Fiqh melahirkan pemikiran yang jernih tentang prinsip-prinsip dasar hukum Islam, hukum slam yang sudah dilahirkan oleh para fuqaha sesungguhnya bermula dari kaidah-kaidah dasar yang bersifat global. Dengan kata lain, Ushul Fiqh hanya berbicara tentang kaidah-kaidah atau ketetapan yang bersifat umum, tidak bersifat rinci yang di ambil dari AL-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad. sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama  adalah istihsan, maslahah mursalah, istishab,‘urf, madzhab as-Shahabi, syar’u man qablana.
Pada pembahasan ini, kami akan membahas tentang sumber hukum islam yang tidak disepakati. Yaitu: ‘urf.















BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologinya, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘urf  berarti:
ما ألفه المجتمع واعتاده وسار عليه فى حياته من قول او فعل
sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik perbuatan atau perkataan.”[1]
Atau ‘urf sering diartikan dengan al-ma’ruf  (المعروف) dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik barupa perkataan maupun perbuatan. Atau kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan yang dapat saja bersanding dengan hukum Islam.
Adapun ‘urf menurut ulama ushul fiqh:
عاَ دَةُ جُمْهُوْ رِ قَوْ مٍ فِيْ قَوْ لٍ أُوْ فِعْل
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”.[2]
Ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan:
 ا لأَ مْرُ الْمُتَكَرّ رُ مِنْ غَيْرِ عَلَاقَةٍ عَقْلِيَّةٍ
“sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”
Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, baik yang menyangkut permasalahan pribadi seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseorang menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi sebagaimana juga adat bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing.[3]
Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinnya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyk. Adanya dua sudut pandang berbeda ini (dari sudut berulang kali dan sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang perinsip karena dua kata itu pengertiannya sama,yaitu suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak, sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulangkali. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.[4]

B.            Macam-macam ‘Urf
Penggolongan macam-macam ‘urf itu dapat dilihat dari beberapa segi:
1.      Ditinjau dari segi objeknya, dari segi ini ’urf itu ada dua macam:
a.       Al-‘urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan), adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang di pahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Contohnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging satu kilogram” pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan mayarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.      Al-‘urf al-‘Amali (kebiasaan yang terbentuk perbuatan), adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain. Contohnya, kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
2.      Ditinjau dari segi cakupannya, dari segi ini ‘urf  itu terbagi menjadi dua macam:
a.         Al-‘Urf al-‘Am (adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa. Contohnya, adat kebiasaan yang berlaku di beberapa negeri dalam memakai ungkapan:”engkau telah haram aku gauli” kepada istrinya sebagai ungkapan  untuk menjatuhkan talak istrinya.
b.        Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu. Misalnya, menganggap catatan jual beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang sah dalam masalah utang piutang.
3.      Ditinjau dari segi keabsahannya dari pendangan syara’, dari segi ini ‘urf itu terbagi menjadi dua macam:
a.       Al-‘urf al-‘Shahih (kebiasaan yang dianggap sah),adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b.           Al-‘urf al-Fasid (kebiasaan yang dianggap rusak), adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Atau contoh lain “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang menangani urusannya.[5]
Disamping pembagian diatas, ‘urf dibagi menjadi dua:
1)        Adat  kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya.
2)        Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah.[6]
C.           Syarat-syarat ‘Urf
Syarat-syarat ‘urf  agar dapat dijadikan salah satu dalil hukum Islam sebagai berikut:
1.        Tidak ada dalil khushus untuk kasus tersebut baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah;
2.        Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan kesulitan.
3.        Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya  berlaku bagi yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.
Kemudian Badran (Tanpa Tahun:215) menambah dengan dua syarat lain yaitu sebagai berikut:
1.        Keberadaan ‘urf (sudah ada) ketika mengeluarkan pernyataan yang dikehendaki menetapkan ‘urf padanya.Dengan demikian, ‘urf yang datangnya belakangan tidak diperhatikan jika dikaitkan dengan ‘urf yang terdahulu.
2.        Tidak bertentangan dengan tashrih (sesuatu yang sudah jelas)[7]
  
D.           Kehujjahan ‘Urf
Para ulama ushul fiqh sepekat bahwa ‘urf al-shahih,yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut ‘urf al-‘am dan ‘urf al-khash, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan ‘urf al-amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah, menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berepa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum syari’at islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh ulama madzhab menganggap sah akad ini.
Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat Al-qur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum islam. Hadist-hadist Rasullah saw. juga banyak sekali yang mengakui eksistensi ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat,seperti hadist yang berkaitan dengan jual beli pesanan (salam). Dalam sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas dikatakan bahwa Rasullah saw hijrah ke madinah, beliau melihat penduduk setempat melakukan jual beli salam tersebut. lalu Rasullah saw,bersabda:
من أسلف في تمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم
“siapa yang melakukan jula beli salam pada kurma,hendaklah ditentukan jumlahnya,takarannya,dan tenggang waktunya (H.R.al-Bukhari)”
Para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, di antaranya adalah yang paling mendasar:
1.    العَا دَّ ةُ مَحَكَّمَة                   
                 Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
2.    لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَ حْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْأ زْ مِنَةِ وَالْأ مْكِنَةِ
Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.
3.    المَعْرُوْ فُ عُرْ فًا كَا لْمَشْرُ وْ طِ شَرْ طًا              
Yang baik itu menjadi ’urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.
4.     الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَا لثَّا بِتِ بِا لنَّص               
Yang ditetapkan melalui ’urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash(ayat dan atau hadist).[8]

E.            Pertentangan ‘Urf dengan dalil syara’
‘Urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadist) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash,para ulama ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut:
1.        Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci.
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di jaman jahiliyah dalam mengadopsi anak, dimana anak yang diadopsi itu statusnya sama dengan anaka kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayahnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
2.        Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum.
Apabila bertentangan dengan nash yang bersifat umum, maka ada perbedaan pendapat didalamnya. Menurut Mushtafa Ahmad az-Zarqa’, apabila ‘urf itu telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum tersebut, maka perlu dibedakan antara ‘urfamali dan ‘urf lafzhi. ‘Urf lafzhi bisa diterima. Maka nash dengan suatu redaksi harus difahami sesuai ‘urf lafzhi yang berlaku saat itu kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa maksud dari redaksi nash itu tidaklah seperti arti yang difahami dalam ‘urf, seperti kata walad yang biasanya difahami dengan arti anak laki-laki, tapi kemudian dalam surah an-Nisa ayat 11, disitu diberikan indikator lain bahwa walad disini adalah anak laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi perbedaan pendapat didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf yang ada adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash yang umum tersebut. Karena pengkhususan tersebut tidak membuat hukum yang dikandung nash tersebut tidak dapat diamalkan. Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli salaam :
نَهَى عَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ لِلْإِ نْسَا نِ وَ رَ خَّصَ فِيْ السَّلَمِ(رواه البخارى و أبو داود) 
“Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-beli pesanan (HR al-Bukhori dan Abu Daud)”
Akad seperti ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Madinah sebelum Rasul datang kesana. Hadits Rasulullah ini ,menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku bentuk jual beli yang barangnya belum ada, kecuali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istisna’ (akad yang berkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istisna’ ini telah menjadi ‘urf dalam masyarakat di berbagai daerah , maka ijtihad para ahli fiqh termasuk jumhur ulama membolehkannya sesuai dengan ‘urf yang berlaku. Akan tetapi Imam al-Qarafi berpendapat ‘urf seperti ini tidak dapat dikhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.
3.         ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antar keduanya bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf itu bersifat umum tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum.
Apabila ada ‘urf yang datang setelah nash umum dan ‘urf itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan ‘urf itu me-nash-kan (membatalkan) nash, sedangkan ‘urf tidak bisa me-nash-kan nash. Dalam masalah ini para ulama fiqh mengatakan, ’urf yang datang kemudian dari nash tidak bisa dijadikan patokan.
Akan tetapi, apabila ‘illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri dalam arti turunannya nash didasarkan atas ‘urf al-‘amali sekalipun ‘urf itu baru tercipta maka ketika ‘illat nash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian apabila ‘urf yang menjadi ‘illat hukum yang dikandung nash itu berubah maka hukumnyapun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh walinya adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak perawan itu mengatakan “saya akan menikahkan engkau dengan fulan”, lalu anak itu diam saja maka diamnya ini menunjukkan kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya.
Menurut Musthofa Ahmad al-Zarqa,’urf para anak gadis saat ini telah berubah dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan, apabila diminta izinnya ia diam saja, tidak dapat lagi diamnya itu diartikan sebagai persetujuan. Sang ayah harus menunggu keterusterangan dari anak perawannya ketika akan dinikahkan. Dalan hal ini ‘urf gadis remaja dalam masalah persetujuan yang menyangkut perkawinan mereka telah berubah dari yang tercantum dalam hadits diatas, maka hukumnyapun harus berubah. Perubahan ini disebabkan berubahnya ‘urf. Akan tetapi Jumhur Ulama tidak sependapat dengan yusuf.
Apabila ada pertentangan antara ‘urf dengan hasil ijtihad melalui metode qiyas, istihsan, dan  mashalah al mursalah, maka dalam kasus ini terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa apabila terdapat pertentangan antara ‘urf dengan qiyas maka yang diambil adalah ‘urf, karena mereka menganggap ‘urf menempati posisi ijma’ ketika nash tidak ada. Penguatan ‘urf dari qiyas bagi kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah melalui metode istihsan.
Sedangkan mendahulukan ‘urf dari mashalah al mursalah, yang tidak didukung oleh nash secara khusus, menurut ulama Malikiyyah juga sangat dipengaruhi oleh ‘urf, karena kemaslahatan itu sendiri berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, sebagaimana yang dikemukakan Musthafa Ahmad al-zarqa secara prinsip juga lebih mendahulukan ‘urf dari qiyas dan mashahah al-mursalah, karena qiyas dan mashahah al-mursalah bukanlah nash tetapi dalam penerapanya terjadi beberapa perbedaan dengan pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat dalam kasus menjual buah-buahan yang masih di pohonnya, seperti buah semangka, anggur, dan terong. Sesuai dengan kaidah qiyas jual beli ini tidak diperbolehkan, karena objek yang diperjualbelikan belum utuh. Akan tetapi jual beli seperti ini sudah berlangsung dikalangan petani dan telah menjadi ‘urf dikalangan mereka. Oleh karena itu, menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, jual beli seperti ini diperbolehkan, karena jual beli seperti ini telah menjadi ‘urf di kalangan masyarakat petani buah di zaman mereka. Akan tetapi ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat jual beli ini tidak sah, sekalipun secara prinsip mereka mendahulukan ‘urf dari qiyas apabila terdapat pertentangan antara keduanya.
Sedangkan dalam pertentangan ‘urf dengan istihsan karena ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak menerima kehujjahan istihsan maka dengan sendirinya mereka lebih mendahulukan ‘urf dari istihsan. Misalnya dalam masalah menjual buah-buahan di pohon sebelum seluruhnya matang. Menurut qiyas (kaidah umum) jual beli seperti ini tidak sah karena buah yang dijual belum jelas jumlahnya, belum matang semuanya dam belum dipetik. Akan tetapi, jual beli seperti ini telah menjadi ‘urf ditengah-tengah masyarakat maka para ulama mazhab sepakat mengatakan jual beli ini boleh.[9]





BAB III
PENUTUP
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok dalam memberikan definisi ‘urf. Para ulama Ushul, menurut kajian kami, sepakat bahwa konsep ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan sudah berlaku di kalangan mereka. Meskipun mereka memberikan definisi yang berbeda, akan tetapi tampaknya semuanya berpulang kepada ide yang sama.
Dalam masalah kehujjahan dan kekuatannya sebagai dalil hukum, terdapat perbedaan pendapat diantaranya. Mereka yang setuju dan menerima ‘urf sebagai dalil hukum mengajukan beberapa alasan baik dari Alquran al-Karim maupun Sunnah. Sedangkan mereka yang menolak ‘urf sebagai dalil hanya menolak keberdiriannya sendiri dari dalil syara’ lainnya. Menurut mereka ‘urf ini hanya pengkhusus, pengikat bagi nash yang umum.
Sementara dalam kekuatannya, juga terdapat perbedaan pendapat jikalau ‘urf bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Apabila ‘urf itu bertentangan dengan dalil nash yang rinci, tampaknya para ulama sepakat bahwa ‘urf tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Akan tetapi dalam nash yang umum, ada yang berpendapat bahwa ‘urf ini bisa mengkhususkan nash itu, meskipun ada juga yang menolak pendapat tersebut. Sedangkan dalam pertentangan antara ‘urf dengan dalil syara’ yang lain yang bukan nash, juga terdapat perbedaan pendapat.











DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. Zein,M. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacan Ilma.

Jumantoro, Totok. Munir Amin, Samsul. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Sinar Grafika Offset.

Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.

Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. jakarta: Logos Wacan Ilmu.



       [1] Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.153.
       [2] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Sinar Grafika Offset,2005), hlm.333-334
       [3]  Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacan Ilma,1996), hlm.137-138
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (jakarta: Logos Wacan Ilmu,2001), hlm.363-364
       [5] Nasrun Haroen, Op.Cit.,hlm.139-141
       [6] Satria Effendi, M.Zein, Op.Cit., hlm.154-155.
       [7] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih,(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2006 ),hlm.180.
        [8] Nasrun Haroen, Op.Cit.,hlm.142-143.
        [9] Ibid, hlm.144-149

1 komentar:

  1. Bons Casino Japan | 100% up to 10,000 FS Bonus
    Bons Casino Japan offers 150% up to 500 EUR or 30 Free Spins for 샌즈카지노 your 메리트카지노 account. ボンズ カジノ No deposit required, just sign up & claim this welcome offer and claim.

    BalasHapus