BAB
1
PENDAHULUAN
Ushul Fiqh
melahirkan pemikiran yang jernih tentang prinsip-prinsip dasar hukum Islam,
hukum slam yang sudah dilahirkan oleh para fuqaha sesungguhnya bermula dari
kaidah-kaidah dasar yang bersifat global. Dengan kata lain, Ushul Fiqh hanya
berbicara tentang kaidah-kaidah atau ketetapan yang bersifat umum, tidak
bersifat rinci yang di ambil dari AL-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagian ulama
menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil
hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode
ijtihad. sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para
ulama adalah istihsan, maslahah mursalah, istishab,‘urf, madzhab as-Shahabi,
syar’u man qablana.
Pada
pembahasan ini, kami akan membahas tentang sumber hukum islam yang tidak
disepakati. Yaitu: ‘urf.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi
berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan
secara terminologinya, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti:
ما ألفه المجتمع
واعتاده وسار عليه فى حياته من قول او فعل
“sesuatu yang tidak asing lagi
bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan mereka baik perbuatan atau perkataan.”[1]
Atau ‘urf sering diartikan
dengan al-ma’ruf (المعروف)
dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Urf adalah sesuatu yang
telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik
barupa perkataan maupun perbuatan. Atau kebiasaan atau hukum yang bersifat
kedaerahan yang dapat saja bersanding dengan hukum Islam.
Adapun ‘urf menurut ulama
ushul fiqh:
عاَ
دَةُ جُمْهُوْ رِ قَوْ مٍ فِيْ قَوْ لٍ أُوْ فِعْل
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam
perkataan atau perbuatan”.[2]
Ulama ushul fiqh membedakan antara
adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil
untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan:
ا
لأَ مْرُ الْمُتَكَرّ رُ مِنْ غَيْرِ عَلَاقَةٍ عَقْلِيَّةٍ
“sesuatu yang dikerjakan secara
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”
Definisi ini menunjukan bahwa
apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak
dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan
yang amat luas, baik yang menyangkut permasalahan pribadi seperti kebiasaan
seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau
permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan
hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab
alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau
cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi
kelambatan seseorang menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping
itu, adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti
korupsi sebagaimana juga adat bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti
perubahahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing.[3]
Kata ‘urf pengertiannya tidak
melihat dari segi berulang kalinnya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi
bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyk.
Adanya dua sudut pandang berbeda ini (dari sudut berulang kali dan sudut
dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya
tidak ada perbedaan yang perinsip karena dua kata itu pengertiannya sama,yaitu
suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui
orang banyak, sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang
banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulangkali. Dengan demikian
meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.[4]
B.
Macam-macam ‘Urf
Penggolongan macam-macam ‘urf itu dapat dilihat dari
beberapa segi:
1.
Ditinjau
dari segi objeknya, dari segi ini ’urf itu ada dua macam:
a.
Al-‘urf
al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan), adalah kebiasaan masyarakat
dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu,
sehingga makna ungkapan itulah yang di pahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat. Contohnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal
kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang
mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam
daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging satu kilogram” pedagang itu langsung
mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan mayarakat setempat telah
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.
Al-‘urf
al-‘Amali (kebiasaan yang terbentuk perbuatan), adalah kebiasaan masyarakat
yang berkaitan dengan perbuatan biasa. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah
perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain. Contohnya, kebiasaan libur kerja pada hari-hari
tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan
khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan dalam memakai pakaian
tertentu dalam acara-acara khusus.
2.
Ditinjau
dari segi cakupannya, dari segi ini ‘urf
itu terbagi menjadi dua macam:
a.
Al-‘Urf
al-‘Am (adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai
negeri di satu masa. Contohnya, adat kebiasaan yang berlaku di beberapa negeri
dalam memakai ungkapan:”engkau telah haram aku gauli” kepada istrinya
sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak
istrinya.
b.
Al-‘Urf
al-Khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada
masyarakat atau negeri tertentu. Misalnya, menganggap catatan jual beli yang
berada pada pihak penjual sebagai bukti yang sah dalam masalah utang piutang.
3.
Ditinjau
dari segi keabsahannya dari pendangan syara’, dari segi ini ‘urf itu terbagi menjadi
dua macam:
a.
Al-‘urf
al-‘Shahih (kebiasaan yang dianggap sah),adalah kebiasaan yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau
hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa
mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas
kawin.
b.
Al-‘urf
al-Fasid (kebiasaan yang dianggap rusak), adalah kebiasaan yang bertentangan
dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti
peminjaman uang antara sesama pedagang. Atau contoh lain “penyuapan”. Untuk
memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau
untuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang
kepada orang yang menangani urusannya.[5]
Disamping
pembagian diatas, ‘urf dibagi menjadi dua:
1)
Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal baik
yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang
haram dan tidak pula sebaliknya.
2)
Adat
kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan
yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah.[6]
C.
Syarat-syarat ‘Urf
Syarat-syarat ‘urf
agar dapat dijadikan salah satu dalil hukum Islam sebagai berikut:
1.
Tidak
ada dalil khushus untuk kasus tersebut baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah;
2.
Pemakaiannya
tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan kesulitan.
3.
Telah
berlaku secara umum dalam arti bukan hanya
berlaku bagi yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.
Kemudian Badran (Tanpa Tahun:215) menambah dengan dua syarat lain
yaitu sebagai berikut:
1.
Keberadaan
‘urf (sudah ada) ketika mengeluarkan pernyataan yang dikehendaki
menetapkan ‘urf padanya.Dengan demikian, ‘urf yang datangnya belakangan
tidak diperhatikan jika dikaitkan dengan ‘urf yang terdahulu.
2.
Tidak
bertentangan dengan tashrih (sesuatu yang sudah jelas)[7]
D.
Kehujjahan ‘Urf
Para ulama ushul fiqh sepekat bahwa ‘urf al-shahih,yaitu ‘urf
yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut ‘urf al-‘am dan
‘urf al-khash, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan ‘urf
al-amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah, menerima dan menjadikan ‘urf sebagai
dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan
hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang yang menggunakan jasa
pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu
dan berepa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum
syari’at islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi, perbuatan
seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh
ulama madzhab menganggap sah akad ini.
Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat Al-qur’an
diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di
tengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum
islam. Hadist-hadist Rasullah saw. juga banyak sekali yang mengakui eksistensi ‘urf
yang berlaku di tengah masyarakat,seperti hadist yang berkaitan dengan jual
beli pesanan (salam). Dalam sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas dikatakan
bahwa Rasullah saw hijrah ke madinah, beliau melihat penduduk setempat
melakukan jual beli salam tersebut. lalu Rasullah saw,bersabda:
من أسلف في تمر
فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم
“siapa yang melakukan jula beli salam pada kurma,hendaklah
ditentukan jumlahnya,takarannya,dan tenggang waktunya (H.R.al-Bukhari)”
Para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, di
antaranya adalah yang paling mendasar:
1.
العَا دَّ ةُ مَحَكَّمَة
Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
2. لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَ حْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْأ زْ مِنَةِ وَالْأ
مْكِنَةِ
Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.
3. المَعْرُوْ فُ عُرْ فًا
كَا لْمَشْرُ وْ طِ شَرْ طًا
Yang baik itu menjadi ’urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat.
4. الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَا لثَّا بِتِ بِا لنَّص
Yang ditetapkan melalui ’urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash(ayat
dan atau hadist).[8]
E.
Pertentangan ‘Urf dengan dalil syara’
‘Urf yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau
hadist) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam
persoalan pertentangan ‘urf dengan nash,para ulama ahli ushul
fiqh memerincinya sebagai berikut:
1.
Pertentangan
‘urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci.
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus
menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf
tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di jaman jahiliyah dalam mengadopsi
anak, dimana anak yang diadopsi itu statusnya sama dengan anaka kandung,
sehingga mereka mendapat warisan apabila ayahnya wafat. ‘Urf seperti ini
tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
2.
Pertentangan
‘urf dengan nash yang bersifat umum.
Apabila bertentangan dengan nash yang bersifat umum, maka ada perbedaan
pendapat didalamnya. Menurut Mushtafa Ahmad az-Zarqa’, apabila ‘urf itu
telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum tersebut, maka perlu
dibedakan antara ‘urf ‘amali dan ‘urf lafzhi. ‘Urf
lafzhi bisa diterima. Maka nash dengan suatu redaksi harus difahami sesuai
‘urf lafzhi yang berlaku saat itu kecuali ada indikator yang menunjukkan
bahwa maksud dari redaksi nash itu tidaklah seperti arti yang difahami dalam ‘urf,
seperti kata walad yang biasanya difahami dengan arti anak laki-laki,
tapi kemudian dalam surah an-Nisa ayat 11, disitu diberikan indikator lain
bahwa walad disini adalah anak laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi perbedaan
pendapat didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf yang ada
adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash yang umum tersebut.
Karena pengkhususan tersebut tidak membuat hukum yang dikandung nash tersebut
tidak dapat diamalkan. Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli salaam :
نَهَى عَنْ بَيْعِ مَا
لَيْسَ لِلْإِ نْسَا نِ وَ رَ خَّصَ فِيْ السَّلَمِ(رواه البخارى و أبو داود)
“Nabi melarang menjual sesuatu
yang tidak dimiliki oleh manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-beli
pesanan (HR al-Bukhori dan Abu Daud)”
Akad seperti ini telah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat Madinah sebelum Rasul datang kesana. Hadits
Rasulullah ini ,menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku bentuk jual beli
yang barangnya belum ada, kecuali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam
larangan ini adalah akad istisna’ (akad yang berkaitan dengan produk
suatu industri). Akan tetapi, karena akad istisna’ ini telah menjadi ‘urf dalam
masyarakat di berbagai daerah , maka ijtihad para ahli fiqh termasuk jumhur
ulama membolehkannya sesuai dengan ‘urf yang berlaku. Akan tetapi Imam
al-Qarafi berpendapat ‘urf seperti ini tidak dapat dikhususkan hukum umum yang
dikandung nash tersebut.
3.
‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf
tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk
setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antar keduanya bersifat umum dan
antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun
yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf itu bersifat umum tidak dapat
dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini
muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum.
Apabila ada ‘urf yang datang
setelah nash umum dan ‘urf itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan
‘urf itu me-nash-kan (membatalkan) nash, sedangkan ‘urf tidak bisa me-nash-kan
nash. Dalam masalah ini para ulama fiqh mengatakan, ’urf yang datang kemudian
dari nash tidak bisa dijadikan patokan.
Akan tetapi, apabila ‘illat suatu
nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri dalam arti turunannya nash didasarkan atas
‘urf al-‘amali sekalipun ‘urf itu baru tercipta maka ketika ‘illat nash itu
hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian apabila ‘urf yang menjadi ‘illat
hukum yang dikandung nash itu berubah maka hukumnyapun berubah. Pendapat ini
dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa
tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh
walinya adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak perawan itu mengatakan “saya
akan menikahkan engkau dengan fulan”, lalu anak itu diam saja maka diamnya ini
menunjukkan kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita yang suka merasa
malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai
dengan perkembangan zaman, para wanita tidak malu lagi untuk menyatakan
kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya.
Menurut Musthofa Ahmad
al-Zarqa,’urf para anak gadis saat ini telah berubah dengan demikian, untuk
menikahkan anak perawan, apabila diminta izinnya ia diam saja, tidak dapat lagi
diamnya itu diartikan sebagai persetujuan. Sang ayah harus menunggu
keterusterangan dari anak perawannya ketika akan dinikahkan. Dalan hal ini ‘urf
gadis remaja dalam masalah persetujuan yang menyangkut perkawinan mereka telah
berubah dari yang tercantum dalam hadits diatas, maka hukumnyapun harus
berubah. Perubahan ini disebabkan berubahnya ‘urf. Akan tetapi Jumhur Ulama
tidak sependapat dengan yusuf.
Apabila ada pertentangan antara
‘urf dengan hasil ijtihad melalui metode qiyas, istihsan, dan mashalah al mursalah, maka dalam kasus ini
terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa
apabila terdapat pertentangan antara ‘urf dengan qiyas maka yang diambil adalah
‘urf, karena mereka menganggap ‘urf menempati posisi ijma’ ketika nash tidak
ada. Penguatan ‘urf dari qiyas bagi kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah
melalui metode istihsan.
Sedangkan mendahulukan ‘urf dari
mashalah al mursalah, yang tidak didukung oleh nash secara khusus, menurut
ulama Malikiyyah juga sangat dipengaruhi oleh ‘urf, karena kemaslahatan itu
sendiri berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah, sebagaimana yang dikemukakan Musthafa Ahmad al-zarqa
secara prinsip juga lebih mendahulukan ‘urf dari qiyas dan mashahah
al-mursalah, karena qiyas dan mashahah al-mursalah bukanlah nash tetapi dalam
penerapanya terjadi beberapa perbedaan dengan pendapat ulama Hanafiyyah dan
Malikiyyah. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat dalam kasus menjual
buah-buahan yang masih di pohonnya, seperti buah semangka, anggur, dan terong.
Sesuai dengan kaidah qiyas jual beli ini tidak diperbolehkan, karena objek yang
diperjualbelikan belum utuh. Akan tetapi jual beli seperti ini sudah
berlangsung dikalangan petani dan telah menjadi ‘urf dikalangan mereka. Oleh
karena itu, menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, jual beli seperti ini
diperbolehkan, karena jual beli seperti ini telah menjadi ‘urf di kalangan
masyarakat petani buah di zaman mereka. Akan tetapi ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat jual beli ini tidak sah, sekalipun secara prinsip mereka
mendahulukan ‘urf dari qiyas apabila terdapat pertentangan antara keduanya.
Sedangkan dalam pertentangan ‘urf
dengan istihsan karena ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak menerima kehujjahan
istihsan maka dengan sendirinya mereka lebih mendahulukan ‘urf dari istihsan.
Misalnya dalam masalah menjual buah-buahan di pohon sebelum seluruhnya matang.
Menurut qiyas (kaidah umum) jual beli seperti ini tidak sah karena buah yang
dijual belum jelas jumlahnya, belum matang semuanya dam belum dipetik. Akan tetapi,
jual beli seperti ini telah menjadi ‘urf ditengah-tengah masyarakat maka para
ulama mazhab sepakat mengatakan jual beli ini boleh.[9]
BAB III
PENUTUP
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok dalam memberikan definisi ‘urf.
Para ulama Ushul, menurut kajian kami, sepakat bahwa konsep ‘urf adalah
sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan sudah berlaku di kalangan
mereka. Meskipun mereka memberikan definisi yang berbeda, akan tetapi tampaknya
semuanya berpulang kepada ide yang sama.
Dalam masalah kehujjahan dan kekuatannya sebagai dalil hukum, terdapat
perbedaan pendapat diantaranya. Mereka yang setuju dan menerima ‘urf
sebagai dalil hukum mengajukan beberapa alasan baik dari Alquran al-Karim
maupun Sunnah. Sedangkan mereka yang menolak ‘urf sebagai dalil hanya
menolak keberdiriannya sendiri dari dalil syara’ lainnya. Menurut mereka ‘urf
ini hanya pengkhusus, pengikat bagi nash yang umum.
Sementara dalam kekuatannya, juga terdapat perbedaan pendapat jikalau ‘urf
bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Apabila ‘urf itu bertentangan
dengan dalil nash yang rinci, tampaknya para ulama sepakat bahwa ‘urf
tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Akan tetapi dalam nash yang umum, ada yang
berpendapat bahwa ‘urf ini bisa mengkhususkan nash itu, meskipun ada
juga yang menolak pendapat tersebut. Sedangkan dalam pertentangan antara ‘urf
dengan dalil syara’ yang lain yang bukan nash, juga terdapat perbedaan
pendapat.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. Zein,M. 2005.Ushul
Fiqh. Jakarta: Kencana.
Haroen,
Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacan Ilma.
Jumantoro, Totok. Munir Amin,
Samsul. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Sinar Grafika Offset.
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu
Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Syarifuddin,
Amir. 2001. Ushul Fiqh. jakarta: Logos Wacan Ilmu.
Bons Casino Japan | 100% up to 10,000 FS Bonus
BalasHapusBons Casino Japan offers 150% up to 500 EUR or 30 Free Spins for 샌즈카지노 your 메리트카지노 account. ボンズ カジノ No deposit required, just sign up & claim this welcome offer and claim.