Senin, 11 Agustus 2014

pemikiran Gusdur tentang pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan adalah wahana untuk mengasuh, membimbing, dan mendidik putra putri generasi penerus bangsa untuk bisa menjadi warga negara yang baik supaya mempunyai keseimbangan hidup antara duniawi dan ukhrawi.
Pendidikan Islam sampai saat ini masih mempunyai eksistensi yang kukuh. Tidak bisa di pungkiri bahwa lembaga pendidikan islam adalah sebuah institusi yang mengajarkan nilai-nilai Islam sebagai bentuk keyakinan yang kebenarannya secara universal diakui oleh umat muslim.
Pendidikan Islam dalam prespektif K.H. Abdurrahman Wahid merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, sebab satu sama lain mempunyai keterkaiatan yang cukup erat dalam mengembangkan pendidikan Islam masa depan. Pendidikan Islam menurut Gus Dur adalah sebuah proses untuk mengantarkan peserta didik agar mempunyai bekal yang cukup dan mampu berpikir kritis sepanjang hayatnya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai perspektif K.H. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih sering disapa Gus Dur, mengenai pendidikan.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Setting Sosial
KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya, K.H Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri pesantren Denanyar Jombang, K.H Bisri Syamsuri, kakek dari pihak ibu ini juga merupakan tokoh NU.
Sebagaimana kebanyakan dalam tradisi muslim abangan di Jawa, yang sering menggunakan nama ayah setelah namanya sendiri. sesuai dengan kebiasaan Arab sendiri, ia adalah Abdurrahman putra Wahid, sebagaimana ayahnya sendiri Wahid putra Hasyim.[1]
Sebenarnya masa kecil Gus Dur bukan hanya di Jombang. Ketika umur 4 tahun, tepatnya 1944, beliau diajak ayahandanya untuk pindah ke Jakarta karena sang ayah mendapat tugas baru mengurusi persoalan agama dimasa penjajahan Jepang, dan mengurusi persatuan organisasi Islam, MIAI dan kemudian Masyumi.[2]
Di Jakarta inilah Gus Dur belajar banyak hal, tidak hanya dari ayahnya, tetapi juga dari pergaulan ayahnya, meliputi kalangan nasionalis, pergerakan, dan tokoh-tokoh nasional lainnya.
Inilah yang menjadikan sosok Gus Dur dikemudian hari sangat kaya akan minat pengetahuan, dan mampu menjembatani secara dialogis dan berkesinambungan antara tradisi pesantren dan dunia modern.[3]

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur melanjutkan studi di Jogjakarta tahun 1953 di SMEP (sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak.
Setamat dari SMP,daritahun1957-1959 Gus Dur melanjutkan belajarnya  di  Pesantren  Tegalrejo  Magelang  Jawa  Tengah.  Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan guru yang  dicintai. Setelah  menghabiskan  dua  tahun  di  pesantren  Tegalrejo,  Gus Dur pindah kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan  KH Wahab  Chasbullah.
Pada bulan November 1963, Gus Dur mendapat  beasiswa  dari  Menteri  Agama  berangkat  ke  Kairo, Mesir, untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Kemudian pada  tahun 1966  Gus  Dur  pindah  ke  Irak, sebuah  negara  modern  yang  memiliki  peradaban  Islam  yang  cukup maju. Di Irak Ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970.
Selepas  belajar  di  Baghdad  Gus  Dur  bermaksud  melanjutkan studinya  ke  Eropa.  Akan  tetapi  persyaratan  yang  ketat  tidak  dapat dipenuhinya,  akhirnya  yang  dilakukan  adalah  melakukan  kunjungan dan  menjadi  pelajar  keliling,  dari  satu  Universitas ke  Universitas lainnya. Pada akhirnya Ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal  di  Eropa.
Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler.[4]
Dalam perjalanan karirnya, sepulang dari pengembaraan mencari ilmu, Gus Dur sempat kembali ke Jombang untuk menjadi guru, lalu menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng. Ia pun kembali menekuni bakatnya sebagai penulis untuk menuangkan gagasan pemikirannya. Pada tahun 1984 Gus Dur terpilih menjadi ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Namun jabatan ini kemudian dilepas ketika ia menjabat sebagai presiden RI yang ke-4.
Gus  Dur  wafat, hari  Rabu,  30 Desember  2009,  di  Rumah  Sakit  Cipto  Mangunkosumo  (RSCM), Jakarta,  pukul  18.45  WIB.  akibat  berbagai  komplikasi  penyakit, diantaranya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.[5]

B.     Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan
1.      Pengertian dan Konsep Pendidikan Islam
Konsep dan gagasan K.H. Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas terlihat pada gagasannya tentang pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek pendidikan pesantren, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang manfaat-positif untuk perkembangan.[6]
Singkatnya, konsep pendidikan Gus Dur ini ialah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.[7]
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam merupakan sebuah perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan tidak melupakan esensi ajaran Islam.

2.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya sehingga akan tampak karakteristik dari pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan islam.[8]
Tujuan pendidikan Islam secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat pencipataan manusia, yaitu untuk menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.

3.      Kurikulum Pembelajaran
Sistem pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif tidak harus bersifat doktrinal yang kadangkala tidak sesuai dengan potensi peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem yang dihadapi.
Kurikulum pendidikan Islam menurut Abdurrahman Wahid, diantaranya, pertama, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek koginitif (pengetahuan). Kedua, dalam proses mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik. Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak hanya mereduksi batas  pengajaran saja. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti transfer of value and skill dan pembentukan karakter (character building)
Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu berfikir kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.[9]

4.      Metode Pembelajaran
Salah satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.[10]
Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di pesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktriner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik.

5.      Konsep Pendidik
Terkait dengan guru dan pemimpin, menurut Gus Dur harus dilakukan perpaduan antara corak karismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern.[11]

6.      Konsep Peserta Didik
Menurut Abdurrahman Wahid, peserta didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna menghadapi suatu problem yang dihadapi.
Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena penekanan Gus Dur pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan psikomotorik.

7.      Evaluasi Pembelajaran
Gus Dur menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi. Selain itu, harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (Process oriented) yaitu, proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau title dikalangan praktisi pendidikan dan pendidik.

C.    Analisis Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid
Dari hasil telaah kami terhadap sumber-sumber bacaan yang dijadikan rujukan utama, dapat diketahui bahwa pendekatan yang digunakan Gus Dur dalam menampilkan citra Islam pada masyarakat adalah dengan pendekatan sosio-kultural, yang mengutamakan aktivitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga menuju transformasi sistem sosial.
Adapun pemikiran Gus Dur mengenai pendidikan merupakan hasil perpaduan yang diadaptasikannya dari lingkungan pesantren dan sekolah-sekolah modern yang pernah ia singgahi. Gus Dur mencoba memadukan antara pendidikan Islam tradisionalis yang diterapkan di pesantren dengan pendidikan di sekolah modern. Hal ini dapat dibuktikan dari pemikirannya mengenai konsep pendidikan Islam yang dapat mengadopsi pemikiran Barat modern, dengan tidak meninggalkan esensi dari ajaran Islam dan identitas Islam yang tetap dijadikan pegangan utama.
Ini merupakan penyesuaian dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks, terutama dalam dunia pendidikan, terlebih di Indonesia yang berpenduduk majemuk.
Secara garis besar, pemikiran Gus Dur lebih terbuka, ini sebagai hasil dari pengalamannya selama mengembara mencari ilmu. Gus Dur, melalui pemikirannya, mencoba memformulasikan konsep pendidikan. Ia menekankan pentingnya proses daripada hasil, sehingga hasil akhir dari sebuah perjuangan bukan hanya status sosial, namun yang terpenting adalah esensi dari ilmu yang dimiliki.






BAB III
PENUTUP

Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikir ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual.
Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pesantren, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, menejemen dan kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki sesuaidengan perkembangan zaman era globalisasi.











DAFTAR PUSTAKA

Faisol. 2013. Gus Dur & Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Rifai, Muhammad. 2013. GUS DUR; KH. Abdurrahman Wahid, Biografi Singkat. Jogjakarta: Garasi House of Book
Sholehuddin, M. Sugeng. 2013. Biografi Intelektual Tokoh Pendidikan Islam Kontemporer. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Saefullah, Aris. 2003. Gus Dur VS Amien Rais; Dakwah Kultural-Struktural. Jogjakarta: Laelathinker


[1] Muhammad Rifai, GUS DUR; KH. Abdurrahman Wahid, Biografi Singkat (Jogjakarta: Garasi House of Book, 2013). hlm. 27
[2]Ibid, hlm. 28
[3]Ibid, hlm. 28
[4]M. Sugeng Sholehuddin, Biografi Intelektual Tokoh Pendidikan Islam Kontemporer (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2013). hlm. 23
[5]Aris Saefullah, Gus Dur VS Amien Rais; Dakwah Kultural-Struktural (Jogjakarta: Laelathinkers, 2003), hlm 65-67
[6]Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013),hlm. 26-27
[7] Ibid, hlm. 115
[8]Ibid. hlm. 75
[9]Ibid, hlm. 28
[10]Ibid, hlm. 127-128
[11]Ibid., hlm. 115