BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah wahana untuk mengasuh, membimbing, dan mendidik
putra putri generasi penerus bangsa untuk bisa menjadi warga negara yang baik
supaya mempunyai keseimbangan hidup antara duniawi dan ukhrawi.
Pendidikan Islam sampai saat ini masih mempunyai eksistensi yang
kukuh. Tidak bisa di pungkiri bahwa lembaga pendidikan islam adalah sebuah
institusi yang mengajarkan nilai-nilai Islam sebagai bentuk keyakinan yang
kebenarannya secara universal diakui oleh umat muslim.
Pendidikan Islam dalam prespektif K.H. Abdurrahman Wahid merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, sebab satu sama lain mempunyai
keterkaiatan yang cukup erat dalam mengembangkan pendidikan Islam masa depan.
Pendidikan Islam menurut Gus Dur adalah sebuah proses untuk mengantarkan
peserta didik agar mempunyai bekal yang cukup dan mampu berpikir kritis
sepanjang hayatnya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai perspektif K.H.
Abdurrahman Wahid, atau yang lebih sering disapa Gus Dur, mengenai pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Setting Sosial
KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada
tanggal 4 Agustus 1940 di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah
putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya, K.H Wahid Hasyim adalah putra K.H.
Hasyim Asy’ari, pendiri salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU). Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri
pesantren Denanyar Jombang, K.H Bisri Syamsuri, kakek dari pihak ibu ini juga merupakan
tokoh NU.
Sebagaimana kebanyakan dalam tradisi muslim abangan di Jawa, yang
sering menggunakan nama ayah setelah namanya sendiri. sesuai dengan kebiasaan
Arab sendiri, ia adalah Abdurrahman putra Wahid, sebagaimana ayahnya sendiri
Wahid putra Hasyim.[1]
Sebenarnya masa kecil Gus Dur bukan hanya di Jombang. Ketika umur 4
tahun, tepatnya 1944, beliau diajak ayahandanya untuk pindah ke Jakarta karena sang
ayah mendapat tugas baru mengurusi persoalan agama dimasa penjajahan Jepang,
dan mengurusi persatuan organisasi Islam, MIAI dan kemudian Masyumi.[2]
Di Jakarta inilah Gus Dur belajar banyak hal, tidak hanya dari
ayahnya, tetapi juga dari pergaulan ayahnya, meliputi kalangan nasionalis,
pergerakan, dan tokoh-tokoh nasional lainnya.
Inilah yang menjadikan sosok Gus Dur dikemudian hari sangat kaya
akan minat pengetahuan, dan mampu menjembatani secara dialogis dan
berkesinambungan antara tradisi pesantren dan dunia modern.[3]
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur melanjutkan studi di
Jogjakarta tahun 1953 di SMEP (sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan,
sambil mondok di pesantren Krapyak.
Setamat dari SMP,daritahun1957-1959 Gus Dur melanjutkan belajarnya di
Pesantren Tegalrejo Magelang
Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok
Kyai yang humanis, shaleh dan guru yang
dicintai. Setelah menghabiskan dua
tahun di pesantren
Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali
ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan KH Wahab
Chasbullah.
Pada bulan November 1963, Gus Dur mendapat
beasiswa dari Menteri
Agama berangkat ke
Kairo, Mesir, untuk melanjutkan studi di Universitas
al-Azhar. Kemudian pada tahun 1966
Gus Dur pindah
ke Irak, sebuah negara
modern yang memiliki
peradaban Islam yang
cukup maju. Di Irak Ia masuk dalam Departement of Religion di
Universitas Baghdad sampai tahun 1970.
Selepas
belajar di Baghdad
Gus Dur bermaksud
melanjutkan studinya ke Eropa.
Akan tetapi persyaratan
yang ketat tidak
dapat dipenuhinya, akhirnya yang
dilakukan adalah melakukan
kunjungan dan menjadi pelajar
keliling, dari satu
Universitas ke Universitas
lainnya. Pada akhirnya Ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.
Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan
hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis,
fundamentalis, sampai modernis dan sekuler.[4]
Dalam perjalanan karirnya, sepulang dari pengembaraan mencari ilmu,
Gus Dur sempat kembali ke Jombang untuk menjadi guru, lalu menjadi sekretaris
Pesantren Tebu Ireng. Ia pun kembali menekuni bakatnya sebagai penulis untuk
menuangkan gagasan pemikirannya. Pada tahun 1984 Gus Dur terpilih menjadi ketua
umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Namun jabatan ini kemudian dilepas
ketika ia menjabat sebagai presiden RI yang ke-4.
Gus
Dur wafat, hari Rabu,
30 Desember 2009, di
Rumah Sakit Cipto
Mangunkosumo (RSCM),
Jakarta, pukul 18.45
WIB. akibat berbagai
komplikasi penyakit, diantaranya
jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.[5]
B.
Pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan
1.
Pengertian dan
Konsep Pendidikan Islam
Konsep dan gagasan K.H. Abdurrahman
Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas terlihat pada gagasannya tentang
pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek pendidikan pesantren, mulai dari
visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan kepemimpinannya harus diperbaiki
dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era globalisasi. Meski demikian,
menurut Gus Dur, pesantren juga harus mempertahankan identitas dirinya sebagai
penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan
modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang manfaat-positif untuk
perkembangan.[6]
Singkatnya, konsep pendidikan Gus
Dur ini ialah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan religius dan
bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik menjadi manusia
yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.[7]
Pendidikan Islam dalam perspektif
Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam
tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern
sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan
tuntutan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam merupakan sebuah perpaduan
antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan tidak
melupakan esensi ajaran Islam.
2.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal
yang mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan islam adalah wahana untuk
pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya
sehingga akan tampak karakteristik dari pola-pola yang dikembangkan oleh
pendidikan islam.[8]
Tujuan pendidikan Islam secara filosofis bertujuan sesuai dengan
hakikat pencipataan manusia, yaitu untuk menjadi hamba dan mengabdi kepada
Allah Swt.
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses
pemberdayaan manusia menuju taklif (pendewasaan), baik secara akal, mental,
maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang
hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta.
Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan
diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
3.
Kurikulum Pembelajaran
Sistem
pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif
tidak harus bersifat doktrinal yang kadangkala tidak sesuai dengan potensi
peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem
yang dihadapi.
Kurikulum pendidikan Islam menurut
Abdurrahman Wahid, diantaranya, pertama, orientasi pendidikan harus
lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih
menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik pembekalan ketrampilan,
agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan
daripada hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek koginitif (pengetahuan). Kedua,
dalam proses mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented
sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif
pada diri peserta didik. Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna
pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. Artinya, proses pembelajaran
peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan
hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti transfer
of value and skill dan pembentukan karakter (character building)
Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan
Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai dengan kondisi zaman, bahwa
pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis dan dialogis antara murid
dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif, kreatif, dan
objektif akan mengarahkan peserta didik mampu berfikir kritis dan selalu
bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan dengan
konteks zaman yang ada disekitarnya.[9]
4.
Metode
Pembelajaran
Salah satu metode pendidikan Islam
dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat
penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis. Pendidikan Islam dalam
perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh
kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.[10]
Terkait pembelajaran, Gus Dur
menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di pesantren harus mampu merangsang
kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik
untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktriner yang
akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik.
5.
Konsep Pendidik
Terkait dengan guru dan pemimpin,
menurut Gus Dur harus dilakukan perpaduan antara corak karismatik dan corak
yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern.[11]
6.
Konsep Peserta
Didik
Menurut Abdurrahman Wahid, peserta
didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi
disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna
menghadapi suatu problem yang dihadapi.
Selain itu, peserta didik juga
diharapkan dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena
penekanan Gus Dur pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan
psikomotorik.
7.
Evaluasi
Pembelajaran
Gus Dur menilai, perlunya pembinaan
dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta
didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi. Selain itu, harus
ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (Process oriented)
yaitu, proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas
rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia
pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau
title dikalangan praktisi pendidikan dan pendidik.
C.
Analisis
Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid
Dari hasil telaah kami terhadap sumber-sumber bacaan yang dijadikan
rujukan utama, dapat diketahui bahwa pendekatan yang digunakan Gus Dur dalam menampilkan
citra Islam pada masyarakat adalah dengan pendekatan sosio-kultural, yang
mengutamakan aktivitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga menuju
transformasi sistem sosial.
Adapun pemikiran Gus Dur mengenai pendidikan merupakan hasil
perpaduan yang diadaptasikannya dari lingkungan pesantren dan sekolah-sekolah
modern yang pernah ia singgahi. Gus Dur mencoba memadukan antara pendidikan
Islam tradisionalis yang diterapkan di pesantren dengan pendidikan di sekolah
modern. Hal ini dapat dibuktikan dari pemikirannya mengenai konsep pendidikan
Islam yang dapat mengadopsi pemikiran Barat modern, dengan tidak meninggalkan
esensi dari ajaran Islam dan identitas Islam yang tetap dijadikan pegangan
utama.
Ini merupakan penyesuaian dengan perkembangan zaman yang semakin
kompleks, terutama dalam dunia pendidikan, terlebih di Indonesia yang
berpenduduk majemuk.
Secara garis besar, pemikiran Gus Dur lebih terbuka, ini sebagai
hasil dari pengalamannya selama mengembara mencari ilmu. Gus Dur, melalui
pemikirannya, mencoba memformulasikan konsep pendidikan. Ia menekankan
pentingnya proses daripada hasil, sehingga hasil akhir dari sebuah perjuangan
bukan hanya status sosial, namun yang terpenting adalah esensi dari ilmu yang
dimiliki.
BAB III
PENUTUP
Dilihat
dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan
sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan
yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan
kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikir
ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual.
Gagasan
dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada
modernisasi pesantren, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, menejemen dan
kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki sesuaidengan perkembangan
zaman era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Faisol. 2013. Gus
Dur & Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Rifai,
Muhammad. 2013. GUS DUR; KH. Abdurrahman Wahid, Biografi Singkat. Jogjakarta:
Garasi House of Book
Sholehuddin, M.
Sugeng. 2013. Biografi Intelektual Tokoh Pendidikan Islam Kontemporer. Pekalongan:
STAIN Pekalongan Press
Saefullah, Aris. 2003. Gus Dur VS Amien Rais; Dakwah
Kultural-Struktural. Jogjakarta: Laelathinker
[1] Muhammad
Rifai, GUS DUR; KH. Abdurrahman Wahid, Biografi Singkat (Jogjakarta:
Garasi House of Book, 2013). hlm. 27
[4]M. Sugeng
Sholehuddin, Biografi Intelektual Tokoh Pendidikan Islam Kontemporer (Pekalongan:
STAIN Pekalongan Press, 2013). hlm. 23
[5]Aris Saefullah,
Gus Dur VS Amien Rais; Dakwah Kultural-Struktural (Jogjakarta:
Laelathinkers, 2003), hlm 65-67
[6]Faisol, Gus
Dur & Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013),hlm. 26-27