BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai manusia kita tidak akan pernah bisa hidup tanpa
bantuan orang lain. Karena manusia itu merupakan makhluk sosial. Dalam
kehidupan ini, terdapat akad-akad sosial yang dilakukan manusia, yaitu akad yang dijalin guna
memberikan penghargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan. Biasanya
yang menjalin akad semacam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau
sedang terjepit oleh suatu masalah, yang mengakibatkannya membutuhkan uluran tangan saudaranya.
Dalam penulisan
makalah kali ini kami selaku pemakalah akan membahas tentang Contoh dari akad sosial, diantaranya ialah akad ariyah,
qardh, hibah, sedekah, hadiah, zakat, dan lain-lain. Yang mana penjelasan yang lebih rinci
akan dipaparkan di bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
MACAM-MACAM AKAD SOSIAL
1. ARIYAH
A. Pengertian ariyah (pinjam meminjam)
Secara bahasa ariyah merupakan nama
atas sesuatu yang dipinjamkan. As-sarakhsi dan malikiyah menyatakan bahwa ariyah
adalah perpindahan kepemilikan manfaat atas suatu barang tanpa adanya
kompensasi. Menurut syafiiyah dan hanabalah ariyah adalah proses untuk
membolehkan (ibahah) mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya
kompensasi. Ariyah berbeda dengan hibah, karena objeknya berupa
manfaat, sedangkan hibah adalah serah terima barang.
B. Dasar hukum ariyah
Ø QS. Al maidah 2:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya”.
Ø Hadist riwayat imam ahmad dan syaikhan:
“Dari Anas bin Malik berkata, ‘sesungguhnya
Nabi saw pernah meminjam kuda dari abu thalhah, dan kemudian Beliau mengendarainya”.
C. Rukun dan syarat ariyah:
ü Mu’ir (yang meminjamkan)
ü Musta’ir (peminjam)
ü Musta’ar (objek)
ü sighat (ijab qabul)
Untuk keabsahan akad ariyah, ulama menambahkan
beberapa syarat, yakni mu’ir haruslah orang yang berakal. Ariyah tidak sah
dilakukan oleh anak kecil atau orang gila. Selain itu, harus ada serah terima
dari musta’ir, karena akad ariyah merupakan tabarru, maka akad
dinyatakan tidak sah tanpa adanya serah terima, seperti halnya akad hibah.
Disamping itu objek yang dipinjamkan (musta’ar) harus bisa dimanfaatkan tanpa
harus merusak bentuk fisik yang ada. Ulama fiqh menetapkan bahwa akad ariyah
diperbolehkan atas barang yang bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak dzatnya
(barang isti’mali), seperti rumah, pakaian, kendaraan, dll.[1]
2. QARDH
A. Pengertian qardh (utang piutang)
Secara bahasa qardh merupakan bentuk
masdar dari qaradha asy-syai’—yaqridhu,
yang berarti dia memutuskannya.Qardh adalah bentuk masdar yang berarti
memutuskan. Dikatakan qaradhu asy-syai’a bil-miqradh, atau memutus
sesuatu dengan gunting. Al qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh
pemilik untuk dibayar. Adapun qardh secara istilah adalah memberikan
harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di
kemudian hari. Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, qardh adalah
penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu.
B. Dasar hukum qardh
Ø QS. Al baqarah 245:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ
لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
“Siapakah yangmau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”.
Ø Hadits riwayat imam muslim dari abu rafi’:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW berutang seekor
unta muda kepada seorang laki-laki. Kemudian diberikan kepada beliau seekor
unta shadaqah. Beliau memerintahkan abu rafi’ kembali kepada beliau dan
berkata, saya tidak menemukan diantara unta-unta tersebut kecuali unta yang
usianya menginjak tujuh tahun. Beliau menjawab, berikanlah unta itu kepadanya
karena sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar utang”.
Ø Dalil ijma’, kaum muslimin sepakat di
bolehkannya utang piutang.
C. Rukun dan syarat qardh:
ü Shighat (ijab qabul)
Tidak ada perbedaan diantara fuqoha bahwa ijab qabul itu
sah dengan lafaz utang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya.
ü ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi
yaitu pengutang dan pemberi utang)
Syarat pengutang adalah merdeka, baligh,
berakal sehat, dan pandai.
ü Harta yang diutangkan
Rukunnya adalah sebagai berikut: (1) harta tsb berupa harta yang apa
adanya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak
berbeda yang mengakibatkan perbedaan nilai seperti uang, barang-barang yang
dapat ditakar, ditimbang, ditanam, dan dihitung. (2) harta tersebut berupa benda, tidak sah mengutangkan manfaat
(jasa). (3) harta tersebut diketahui kadarnya serta sifatnya.[2]
3. HIBAH
A. Pengertian hibah
Hibah secara bahasa berasal dari kata wahaba,
yang berarti lewat dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan kata lain
kesadaran untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubub ar-rih (angin
yang menghembus) atau ibra (membebaskan utang). Sedangkan menurut
istilah, hibah adalah pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap
suatu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih
tinggi.
B. Dasar hukum hibah
Ø QS. Al-baqarah 177:
وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ
وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
“dan memberikan harta yang dicintai kepada
kerabatnya, orang-orang yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan)”.
Ø Hadits riwayat imam bukhari, muslim, tirmidzi:
Dari abi hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “janganlah menghina seseorang tetangga yang memberi hadiah walaupun
hanya kuku kambing”.
C. Rukun dan syarat hibah:
ü Penghibah
Sebagai pemilik sempurna atas benda yang dihibahkan,
baligh berakal, dan atas kemauan sendiri.
ü Penerima hibah
sudah wujud, dalam arti yang sesungguhnya ketika akad
hibah dilaksanakan.
ü Objek yang menjadi hibah
Harus milik yang sempurna dari penghibah, sudah ada dalam
arti sesungguhnya saat pelaksanaan akad, berupa sesuatu yang dibolehkan
dimiliki oleh agama, dan telah terpisah secara jelas dari harta penghibah.
ü Akad atau ijab qabul.[3]
4. SEDEKAH
A. Pengertian sedekah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa
arab shadaqah yang berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan
islam sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunnahkan. Tapi setelah
kewajiban zakat disyariatkan, yang mana dalam al-qur’an sering disebutkan
dengan kata shadaqah, maka shadaqah mempunyai dua arti, yaitu shadaqah
sunah/tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat). Sedangkan menurut syara’
(terminologi), sedekah adalah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang
yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah.
B. Dasar hukum sedekah
Ø QS. Al baqarah 280:
وَإِنْ كَانَ
ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Ø
hadits riwayat imam bukhari dan muslim:
“Lindungilah dirimu semua dari siksa api
neraka dengan bersedekah meskipun hanya dengan separuh biji kurma”.
Ø Secara ijma, bahwa hukum sedekah ialah sunah.
Karena didalamnya terdapat unsur memberikan pertolongan kepada pihak yang
membutuhkan.
C. Rukun dan syarat sedekah:
ü Pihak yang bersedekah
ü Penerima sedekah
ü Benda yang disedekahkan
ü Shighat ijab dan qabul. Adapun syarat pada
tiap-tiap rukun sama dengan syarat pada hibah.[4]
5. HADIAH
A. Pengertian hadiah
Hadiah adalah pemberian seseorang kepada orang
lain karena rasa cinta, penghormatan, ataupun prestasi. Rasulullah SAW menganjurkan kepada
umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat
menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama.
B. Dasar Hukum
Ø QS. An-naml 35:
وَاِنِّي مُرْسِلَةٌ اِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ
فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُوْنَ
“dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan
(membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh
utusan-utusan itu”.
Ø Hadits riwayat abu ya’la:
"Hendaklah
kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi”.
C. Rukun dan syarat hadiah:
ü Pihak yang memberi hadiah
ü Pihak penerima hadiah
ü Benda yang dihadiahkan
ü Shighat ijab qabul. Adapun syarat dari
tiap-tiap rukun sama dengan syarat pada hibah.
6. ZAKAT
A. Pengertian zakat
Secara arti kata zakat berasal dari kata zakaa
yang berarti membersihkan, bertumpu dan berkah. Digunakan kata zakaa
dengan arti “membersihkan” itu untuk ibadah pokok yang rukun islam, karena
memang zakat itu diantara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta
orang yang berzakat. Dalam terminologi hukum (syara) zakat diartikan pemberian
tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang
telah ditentukan. Zakat itu ada dua macam. Yaitu zakat harta (zakaatul maal)
dan zakat diri (zakat fitrah) yang dikeluarkan setiap akhir ramadhan.
B. Dasar hukum zakat
Hukum zakat adalah wajib ‘ain dalam arti
kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan
kepada orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya dapat diwakilkan kepada orang
lain.
Ø QS. Al-Baqarah 43:
وَاَقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَءَاتُوْا الزَّكَوةَ
وَارْكَعُوْمَعَ الرَّاكِعِيْنَ
"Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku".
Ø
Hadist riwayat bukhori
dan muslim:
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah kepada
kaum muslimin, baik yang merdeka ataupun hamba sahaya, laki-laki ataupun
perempuan dan dikeluarkan berupa satu sha’ ’kurma atau
satu sha’ gandum”.
“Barang
siapa yang diberi Allah harta akan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka
harta itu akan dirupakan pada hari kiamat sebagai seekor ular jantan yang amat
berbisa, dengan kedua matanya yang dilindungi warna hitam kelam dan lalu
dikalungkan kelehernya. Dan ular itu berkata “saya ini adalah simpananmu, harta
kekayaanmu”.
Ø Secara
ijma, bahwa zakat adalah wajib dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir
dari Islam.
C.
Rukun dan syarat zakat:
ü Orang yang berzakat (muzakki)
Syaratnya ialah islam, baligh, berakal, dan memiliki
harta yang memenuhi syarat. Tidak wajib zakat atas orang-orang yang tidak memenuhi
syarat tersebut.
ü Harta yang dizakatkan
Syaratnya ialah ia harta yang baik, milik yang sempurna
dari yang berzakat, berjumlah satu nisab atau lebih dan telah tersimpan selama
satu tahun (haul). Ini adalah syarat umum yang berlaku untuk semua harta zakat
disamping itu terdapat syarat khusus yang berlaku untuk harta zakat tertentu.
ü Orang yang menerima zakat
Syaratnya ialah jelas adanya, baik ia orang atau badan
atau lembaga, maupun kegiatan.[5]
7. Wakaf
A. Pengertian wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf
yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), dan al-tasbil
(tertawan) dan al-man’u (mencegah). Sedangkan menurut istilah (syara’)
yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan
memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan dijaalan kebaikan.
B. Dasar hukum wakaf
Ø QS. Ali imran 92:
لَنْ تَنَالُوْاالْبِرَّحَتَّى
تُنْفِقُوْامِمَّاتُحِبُّوْنَ
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan,
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”.
Ø Hadits riwayat imam muslim:
“jika anak Adam meninggal dunia, maka
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara sedekah jariyah atau ilmu yang
dimanfaatkan , atau anak shaleh yang mendoakan kedua orangtuanya”.
C. Rukun dan syarat wakaf:
Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum adalah:
ü Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu
sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya.
ü Tujuan wakaf harus jelas, namun apabila
seorang mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya, hal itu
dipandang sah sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang
lembaga hukum yang menerima harta wakaf tersebut.
ü Wakaf harus segera dilaksanakan setelah
dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan
terjadi dimasa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak
milik bagi yang mewakafkan.
ü Tanpa adanya hak khiyar (membatalkan
atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlaku
seketika dan untuk selamanya.
Rukun-rukun wakaf ialah:
ü Orang yang berwakaf (wakif)
Syaratnya, baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
ü Harta yang diwakafkan (mauquf)
Syaratnya, merupakan harta yang bernilai, milik yang
mewakafkan, dan tahan lama untuk digunakan.
ü Tujuan wakaf (mauquf alaih)
Syaratnya, sejalan (tidak bertentangan) dengan
nilai-nilai ibadah.
ü Pernyataan wakaf (shighat waqf)
Syaratnya, wakaf dinyatakan baik dengan lisan, tulisan, maupun isyarat.[6]
BAB III
PENUTUP
Ariyah (pinjam meminjam) adalah proses untuk
membolehkan (ibahah) mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya
kompensasi. Sedangkan Qardh (utang piutang) adalah memberikan harta kepada
orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari.
Hibah adalah pemberian hak milik secara
langsung dan mutlak terhadap suatu benda ketika masih hidup tanpa ganti
walaupun dari orang yang lebih tinggi. Sedekah adalah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak
menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah. Dan Hadiah adalah pemberian seseorang kepada orang lain karena rasa cinta, penghormatan,
ataupun prestasi.
Zakat adalah pemberian tertentu dari harta tertentu kepada
orang tertentu menurut syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk
diambil manfaatnya guna diberikan dijaalan kebaikan.
[1]Dimyauddin Djuwaini, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 269-270.
[3]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 435- 445.
[4]Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 149-156.
[5]Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010),
hlm. 37-40.
[6]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.
239-244.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar