Sabtu, 14 Desember 2013

fiqh macam-macam akad sosial



BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai manusia kita tidak akan pernah bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Karena manusia itu merupakan makhluk sosial. Dalam kehidupan ini, terdapat akad-akad sosial yang dilakukan manusia, yaitu akad yang dijalin guna memberikan penghargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan. Biasanya yang menjalin akad semacam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau sedang terjepit oleh suatu masalah, yang mengakibatkannya membutuhkan uluran tangan saudaranya.
Dalam penulisan makalah kali ini kami selaku pemakalah akan membahas tentang Contoh dari akad sosial, diantaranya ialah akad ariyah, qardh, hibah, sedekah, hadiah, zakat, dan lain-lain. Yang mana penjelasan yang lebih rinci akan dipaparkan di bab selanjutnya.











BAB II
PEMBAHASAN
MACAM-MACAM AKAD SOSIAL
1.    ARIYAH
A.      Pengertian ariyah (pinjam meminjam)
Secara bahasa ariyah merupakan nama atas sesuatu yang dipinjamkan. As-sarakhsi dan malikiyah menyatakan bahwa ariyah adalah perpindahan kepemilikan manfaat atas suatu barang tanpa adanya kompensasi. Menurut syafiiyah dan hanabalah ariyah adalah proses untuk membolehkan (ibahah) mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya kompensasi. Ariyah berbeda dengan hibah, karena objeknya berupa manfaat, sedangkan hibah adalah serah terima barang.
B.       Dasar hukum ariyah
Ø QS. Al maidah 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Ø Hadist riwayat imam ahmad dan syaikhan:
“Dari Anas bin Malik berkata, ‘sesungguhnya Nabi saw pernah meminjam kuda dari abu thalhah, dan kemudian Beliau mengendarainya”.
C.       Rukun dan syarat ariyah:
ü Mu’ir (yang meminjamkan)
ü Musta’ir (peminjam)
ü Musta’ar (objek)
ü sighat (ijab qabul)
Untuk keabsahan akad ariyah, ulama menambahkan beberapa syarat, yakni mu’ir haruslah orang yang berakal. Ariyah tidak sah dilakukan oleh anak kecil atau orang gila. Selain itu, harus ada serah terima dari musta’ir, karena akad ariyah merupakan tabarru, maka akad dinyatakan tidak sah tanpa adanya serah terima, seperti halnya akad hibah. Disamping itu objek yang dipinjamkan (musta’ar) harus bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisik yang ada. Ulama fiqh menetapkan bahwa akad ariyah diperbolehkan atas barang yang bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak dzatnya (barang isti’mali), seperti rumah, pakaian, kendaraan, dll.[1]
2.    QARDH
A.      Pengertian qardh (utang piutang)
Secara bahasa qardh merupakan bentuk masdar  dari qaradha asy-syai’­­­­­­—yaqridhu, yang berarti dia memutuskannya.Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutuskan. Dikatakan qaradhu asy-syai’a bil-miqradh, atau memutus sesuatu dengan gunting. Al qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Adapun qardh secara istilah adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari. Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
B.       Dasar hukum qardh
Ø QS. Al baqarah 245:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
Siapakah yangmau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”.
Ø Hadits riwayat imam muslim dari abu rafi’:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW berutang seekor unta muda kepada seorang laki-laki. Kemudian diberikan kepada beliau seekor unta shadaqah. Beliau memerintahkan abu rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, saya tidak menemukan diantara unta-unta tersebut kecuali unta yang usianya menginjak tujuh tahun. Beliau menjawab, berikanlah unta itu kepadanya karena sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar utang”.
Ø Dalil ijma’, kaum muslimin sepakat di bolehkannya utang piutang.

C.       Rukun dan syarat qardh:
ü Shighat (ijab qabul)
Tidak ada perbedaan diantara fuqoha bahwa ijab qabul itu sah dengan lafaz utang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya.
ü ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi yaitu pengutang dan pemberi utang)
Syarat pengutang adalah merdeka, baligh, berakal sehat, dan pandai.
ü Harta yang diutangkan
Rukunnya adalah sebagai berikut: (1) harta tsb berupa harta yang apa adanya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan perbedaan nilai seperti uang, barang-barang yang dapat ditakar, ditimbang, ditanam, dan dihitung. (2) harta tersebut  berupa benda, tidak sah mengutangkan manfaat (jasa). (3) harta tersebut diketahui kadarnya serta sifatnya.[2]

3.    HIBAH
A.      Pengertian hibah
Hibah secara bahasa berasal dari kata wahaba, yang berarti lewat dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan kata lain kesadaran untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubub ar-rih (angin yang menghembus) atau ibra (membebaskan utang). Sedangkan menurut istilah, hibah adalah pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap suatu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi.
B.       Dasar hukum hibah
Ø QS. Al-baqarah 177:
وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
“dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, orang-orang yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)”.
Ø Hadits riwayat imam bukhari, muslim, tirmidzi:
Dari abi hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: “janganlah menghina seseorang tetangga yang memberi hadiah walaupun hanya kuku kambing”.
C.       Rukun dan syarat hibah:
ü Penghibah
Sebagai pemilik sempurna atas benda yang dihibahkan, baligh berakal, dan atas kemauan sendiri.
ü Penerima hibah
sudah wujud, dalam arti yang sesungguhnya ketika akad hibah dilaksanakan.
ü Objek yang menjadi hibah
Harus milik yang sempurna dari penghibah, sudah ada dalam arti sesungguhnya saat pelaksanaan akad, berupa sesuatu yang dibolehkan dimiliki oleh agama, dan telah terpisah secara jelas dari harta penghibah.
ü Akad atau ijab qabul.[3]

4.    SEDEKAH
A.      Pengertian sedekah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa arab shadaqah yang berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan islam sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunnahkan. Tapi setelah kewajiban zakat disyariatkan, yang mana dalam al-qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqah, maka shadaqah mempunyai dua arti, yaitu shadaqah sunah/tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat). Sedangkan menurut syara’ (terminologi), sedekah adalah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah.
B.       Dasar hukum sedekah
Ø QS. Al baqarah 280:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Ø hadits riwayat imam bukhari dan muslim:
“Lindungilah dirimu semua dari siksa api neraka dengan bersedekah meskipun hanya dengan separuh biji kurma”.
Ø Secara ijma, bahwa hukum sedekah ialah sunah. Karena didalamnya terdapat unsur memberikan pertolongan kepada pihak yang membutuhkan.
C.       Rukun dan syarat sedekah:
ü Pihak yang bersedekah
ü Penerima sedekah
ü Benda yang disedekahkan
ü Shighat ijab dan qabul. Adapun syarat pada tiap-tiap rukun sama dengan syarat pada hibah.[4]

5.    HADIAH
A.      Pengertian hadiah
Hadiah adalah pemberian seseorang kepada orang lain karena rasa cinta, penghormatan, ataupun prestasi. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama.
B.       Dasar Hukum
Ø QS. An-naml 35:
وَاِنِّي مُرْسِلَةٌ اِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُوْنَ
“dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”.
Ø Hadits riwayat abu ya’la:
"Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi”.
C.       Rukun dan syarat hadiah:
ü Pihak yang memberi hadiah
ü Pihak penerima hadiah
ü Benda yang dihadiahkan
ü Shighat ijab qabul. Adapun syarat dari tiap-tiap rukun sama dengan syarat pada hibah.

6.    ZAKAT
A.      Pengertian zakat
Secara arti kata zakat berasal dari kata zakaa yang berarti membersihkan, bertumpu dan berkah. Digunakan kata zakaa dengan arti “membersihkan” itu untuk ibadah pokok yang rukun islam, karena memang zakat itu diantara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminologi hukum (syara) zakat diartikan pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang telah ditentukan. Zakat itu ada dua macam. Yaitu zakat harta (zakaatul maal) dan zakat diri (zakat fitrah) yang dikeluarkan setiap akhir ramadhan.
B.       Dasar hukum zakat
Hukum zakat adalah wajib ‘ain dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya dapat diwakilkan kepada orang lain.
Ø QS. Al-Baqarah 43:
وَاَقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَءَاتُوْا الزَّكَوةَ وَارْكَعُوْمَعَ الرَّاكِعِيْنَ
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku".
Ø Hadist riwayat bukhori dan muslim:
Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah kepada kaum muslimin, baik yang merdeka ataupun hamba sahaya, laki-laki ataupun perempuan dan dikeluarkan berupa satu sha’ ’kurma atau satu sha’ gandum”.
Barang siapa yang diberi Allah harta akan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka harta itu akan dirupakan pada hari kiamat sebagai seekor ular jantan yang amat berbisa, dengan kedua matanya yang dilindungi warna hitam kelam dan lalu dikalungkan kelehernya. Dan ular itu berkata “saya ini adalah simpananmu, harta kekayaanmu”.
Ø Secara ijma, bahwa zakat adalah wajib dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.

C.       Rukun dan syarat zakat:
ü Orang yang berzakat (muzakki)
Syaratnya ialah islam, baligh, berakal, dan memiliki harta yang memenuhi syarat. Tidak wajib zakat atas orang-orang yang tidak memenuhi syarat tersebut.
ü Harta yang dizakatkan
Syaratnya ialah ia harta yang baik, milik yang sempurna dari yang berzakat, berjumlah satu nisab atau lebih dan telah tersimpan selama satu tahun (haul). Ini adalah syarat umum yang berlaku untuk semua harta zakat disamping itu terdapat syarat khusus yang berlaku untuk harta zakat tertentu.
ü Orang yang menerima zakat
Syaratnya ialah jelas adanya, baik ia orang atau badan atau lembaga, maupun kegiatan.[5]

7.    Wakaf
A.      Pengertian wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), dan al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah). Sedangkan menurut istilah (syara’) yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan dijaalan kebaikan.
B.       Dasar hukum wakaf
Ø QS. Ali imran 92:
لَنْ تَنَالُوْاالْبِرَّحَتَّى تُنْفِقُوْامِمَّاتُحِبُّوْنَ
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”.
Ø Hadits riwayat imam muslim:
“jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara sedekah jariyah atau ilmu yang dimanfaatkan , atau anak shaleh yang mendoakan kedua orangtuanya”.
C.       Rukun dan syarat wakaf:
Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum adalah:
ü Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya.
ü Tujuan wakaf harus jelas, namun apabila seorang mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang sah sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga hukum yang menerima harta wakaf tersebut.
ü Wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi dimasa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan.
ü Tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya.
Rukun-rukun wakaf ialah:
ü Orang yang berwakaf (wakif)
Syaratnya, baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
ü Harta yang diwakafkan (mauquf)
Syaratnya, merupakan harta yang bernilai, milik yang mewakafkan, dan tahan lama untuk digunakan.
ü Tujuan wakaf (mauquf alaih)
Syaratnya, sejalan (tidak bertentangan) dengan nilai-nilai ibadah.
ü Pernyataan wakaf (shighat waqf)
Syaratnya, wakaf dinyatakan baik dengan lisan, tulisan, maupun isyarat.[6]












BAB III
PENUTUP
Ariyah (pinjam meminjam) adalah proses untuk membolehkan (ibahah) mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya kompensasi. Sedangkan Qardh (utang piutang) adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari.
Hibah adalah pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap suatu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi. Sedekah adalah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah. Dan Hadiah adalah pemberian seseorang kepada orang lain karena rasa cinta, penghormatan, ataupun prestasi.
Zakat adalah pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan dijaalan kebaikan.












[1]Dimyauddin Djuwaini, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 269-270.
[2]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 333-335.
[3]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat  (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 435- 445.
[4]Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 149-156.
[5]Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 37-40.
[6]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 239-244.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar